JAKARTA - 100 hari berlalu, kasus penyiraman air keras kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan masih menyimpan segudang tanya. Pertanyaan publik mengenai siapa pelaku aksi teror tersebut seolah tidak mendapatkan jawaban dari pihak-pihak yang berwenang.
"Itu semakin memperjelas bahwa kasus teror Novel Baswedan bukan kasus pidana biasa, tetapi kasus luar biasa," kata Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, kepada Okezone, Jumat 21 Juli 2017malam.
Menurut Maneger, bila kasus Novel pidana biasa seharusnya sudah terungkap siapa pelaku, motif dan aktor intelektualnya. Namun, karena ini kasus luar biasa, maka diperlukan cara-cara luar biasa pula untuk mengusutnya, serta tidak bisa dilakukan dengan cara-cara konvensional.
"Kami meyakini sebetulnya kalau ini kasus biasa, secara teknis kepolisian kita mampu mengusutnya asal ada niat, mau dan independen," ujar Maneger.
Kasus Novel sendiri belum terungkap meski waktu terus berlalu selama tiga bulan lebih. Menurut Komnas HAM, kalau lebih dari tiga belum belum tuntas, maka dapat dipastikan tidak terjadi kendala tenis, tetapi lebih pada hambatan non-teknis.
"Patut diduga teror Novel Baswedan itu terencana dan dilakukan oleh orang terlatih," ucap dia.
Di tengah ketidaktuntasan kasus Novel, secara mengejutkan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal M Iriawan dirotasi dari kedudukannya. Ia kemudian diantarkan kepada kedudukan yang lebih tinggi, yakni menjadi Asisten Operasi (Asops) Kapolri.
Sementara kursi Korps Bhayangkara di Ibu Kota diduduki Inspektur Jenderal Idham Azis. Idham sendiri sebelumnya menjabat sebagai Kepala Divisi Propam Polri.
Maneger menerangkan, salah satu pekerjaan rumah (PR) Kapolda Metro Jaya yang baru ialah menuntaskan kasus teror terhadap Novel Baswedan.
"Tidak ada pilihan lain, kasus teror Novel Baswesan harus dituntaskan. Kasus ini harus dibawa ke ruang terang, ke ruang publik. Tidak boleh dibiarkan di ruang gelap," tegasnya.
Bila kasus Novel terus menerus berada di ruang gelap, maka akan mengundang kecurigaan publik tentang adanya suatu konspirasi.
"Kepolisian harus menjawabnya dengan kinerja," ucap Maneger.
Ia menambahkan, dalam sudut pandang hak asasi manusia (HAM), Novel Baswedan merupakan korban yang seyogianya mendapatkan kepastian dan keadilan hukum. Selain itu, keluarganya juga berhak mengetahui siapa pelaku teror kepada Mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu tersebut.
Meski saat ini orang nomor satu di wilayah hukum terjadinya kasus teror Novel telah dirotasi dan digantikan sosok baru, Komnas HAM senantiasa berupaya menghadirkan kepercayaan kepada sosok Kapolda Metro yang baru untuk merampungkan perkara ini.
"Komnas HAM tentu tetap berusaha menghadirkan kepercayaan semoga Kapolda kita yang baru bisa mengungkap pelaku, motif dan aktor intelektual teror Novel Baswedan," pungkas Maneger.
Sekadar informasi, dalam wawancara dengan salah satu media asing, Novel menyebutkan bahwa diduga ada keterlibatan jenderal polisi dalam penyerangan air keras kepadanya.
Menindaklanjuti hal ini, polisi bersama KPK berencana bertolak ke Singapura untuk meminta keterangan Novel. Namun rencana itu tidak berjalan mulus karena masih terkendala izin rumah sakit maupun dokter yang merawat Novel.
Peristiwa penyerangan terhadap Novel terjadi pada Selasa, 11 Mei 2017, usai solat Subuh di Masjid Al Ikhsan dekat kediamannya di Jalan Deposito, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Hingga kini Novel masih menjalani perawatan medis di Singapura.
Sumber: Okezone.com
"Itu semakin memperjelas bahwa kasus teror Novel Baswedan bukan kasus pidana biasa, tetapi kasus luar biasa," kata Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, kepada Okezone, Jumat 21 Juli 2017malam.
Menurut Maneger, bila kasus Novel pidana biasa seharusnya sudah terungkap siapa pelaku, motif dan aktor intelektualnya. Namun, karena ini kasus luar biasa, maka diperlukan cara-cara luar biasa pula untuk mengusutnya, serta tidak bisa dilakukan dengan cara-cara konvensional.
"Kami meyakini sebetulnya kalau ini kasus biasa, secara teknis kepolisian kita mampu mengusutnya asal ada niat, mau dan independen," ujar Maneger.
Kasus Novel sendiri belum terungkap meski waktu terus berlalu selama tiga bulan lebih. Menurut Komnas HAM, kalau lebih dari tiga belum belum tuntas, maka dapat dipastikan tidak terjadi kendala tenis, tetapi lebih pada hambatan non-teknis.
"Patut diduga teror Novel Baswedan itu terencana dan dilakukan oleh orang terlatih," ucap dia.
Di tengah ketidaktuntasan kasus Novel, secara mengejutkan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal M Iriawan dirotasi dari kedudukannya. Ia kemudian diantarkan kepada kedudukan yang lebih tinggi, yakni menjadi Asisten Operasi (Asops) Kapolri.
Sementara kursi Korps Bhayangkara di Ibu Kota diduduki Inspektur Jenderal Idham Azis. Idham sendiri sebelumnya menjabat sebagai Kepala Divisi Propam Polri.
Maneger menerangkan, salah satu pekerjaan rumah (PR) Kapolda Metro Jaya yang baru ialah menuntaskan kasus teror terhadap Novel Baswedan.
"Tidak ada pilihan lain, kasus teror Novel Baswesan harus dituntaskan. Kasus ini harus dibawa ke ruang terang, ke ruang publik. Tidak boleh dibiarkan di ruang gelap," tegasnya.
Bila kasus Novel terus menerus berada di ruang gelap, maka akan mengundang kecurigaan publik tentang adanya suatu konspirasi.
"Kepolisian harus menjawabnya dengan kinerja," ucap Maneger.
Ia menambahkan, dalam sudut pandang hak asasi manusia (HAM), Novel Baswedan merupakan korban yang seyogianya mendapatkan kepastian dan keadilan hukum. Selain itu, keluarganya juga berhak mengetahui siapa pelaku teror kepada Mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu tersebut.
Meski saat ini orang nomor satu di wilayah hukum terjadinya kasus teror Novel telah dirotasi dan digantikan sosok baru, Komnas HAM senantiasa berupaya menghadirkan kepercayaan kepada sosok Kapolda Metro yang baru untuk merampungkan perkara ini.
"Komnas HAM tentu tetap berusaha menghadirkan kepercayaan semoga Kapolda kita yang baru bisa mengungkap pelaku, motif dan aktor intelektual teror Novel Baswedan," pungkas Maneger.
Sekadar informasi, dalam wawancara dengan salah satu media asing, Novel menyebutkan bahwa diduga ada keterlibatan jenderal polisi dalam penyerangan air keras kepadanya.
Menindaklanjuti hal ini, polisi bersama KPK berencana bertolak ke Singapura untuk meminta keterangan Novel. Namun rencana itu tidak berjalan mulus karena masih terkendala izin rumah sakit maupun dokter yang merawat Novel.
Peristiwa penyerangan terhadap Novel terjadi pada Selasa, 11 Mei 2017, usai solat Subuh di Masjid Al Ikhsan dekat kediamannya di Jalan Deposito, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Hingga kini Novel masih menjalani perawatan medis di Singapura.
Sumber: Okezone.com
No comments:
Write comments